Cari Blog Ini

Jumat, 26 Juni 2009

INDAHNYA MENAHAN MARAH




"Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskannya (melampiaskannya), maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya." (HR. Abu Dawud - At-Tirmidzi)

Tingkat keteguhan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat. Semuanya bergantung pada kekuatan ma’nawiyah (keimananan) seseorang.

Pada dasarnya, tabiat manusia yang beragam: keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menyelurusi lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan lapang dada.


Adakalanya, kita bisa merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita terlempar dari kesadaran. Kita begitu merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na’udzubillah.

Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi S.A.W. dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, "Aku berbuat baik padamu." Badwi itu berkata, "Pemberianmu tidak bagus." Para sahabat merasa tersinggung, lalu mengerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar.
Kemudian, Nabi S.A.W. pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda pada Badwi itu, "Aku berbuat baik padamu?" Badwi itu berkata, "Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat."
Keesokan harinya, Rasulullah S.A.W. bersabda kepada para sahabat, "Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya bina dengan baik, maka ia selamat."

Beberapa hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksanakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan ridha.

Rasulullah S.A.W. memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panik menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal itu bukan kezhaliman. Namun, Rasulullah S.A.W. tidak berbuat demikian. Beliau tetap sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, beliau S.A.W. ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apa pun. Harta, saat itu, ibarat sampah yang bertumpuk yang dipakai untuk suguhan unta yang ngamuk. Tentu saja, unta yang telah mendapatkan kebutuhannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan bisa digunakan untuk menempuh perjalan jauh.

Adakalanya, Rasulullah S.A.W. juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi. Melainkan, karena kehormatan agama Allah.
Rasulullah S.A.W. bersabda, "Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam)." (HR. Bukhari)

Sabdanya pula, "Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor." (HR. Turmudzi).

Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan. Maka, orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.

Seorang hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah tersulut nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justru, ia akan senantiasa memunculkan permusuhan di masyarakatnya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan suburnya dalam dadanya. Maka, tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.

Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur, riya, sum’ah, dusta, pengadu domba dan lain sebagainya. Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah S.W.T.

Dari Abdullah bin Shamit, Rasulullah S.A.W. bersabda, "Apakah tiada lebih baik saya beritahukan tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang?" Para sahabat menjawab, "Baik, ya Rasulullah." Rasulullah saw bersabda, "Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau." (HR. Thabrani).

Sabdanya pula, "Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian, turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya. Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk)." (HR. Abu Dawud).

Minggu, 21 Juni 2009

ETIKA DALAM BERTENGKAR (JIKA TERPAKSA HARUS)



Bismillah walhamdulillah walaa hawla walaa Quwwata Illaa billah, Shahabat Islam yang berbahagia, kita bersyukur kepada Alloh bahwa hingga hari ini Alloh masih mengulur waktu buat kita. Berbicara soal vonis, sebenarnya setiap kita telah dijatuhi hukuman mati (S.21:35), hanya jadwal eksekusi yang berbeda beda, ada yang minggu lalu, kemarin, tadi pagi, dan saya ? Anda ? Entah kapan, yang jelas waktu yang tersisa, harus kita maksimalkan untuk berbuat baik. Diantara kebaikan itu adalah: membangun sinergi yang baik antar dua kekasih yang diikat erat janji suci, suami dengan isteri.

Bertengkar adalah phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata : "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya !" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta. Yang jelas saya dengan Ummu Naila sering menikmati sa'at-sa'at bertengkar, sebagaimana lebih menikmati lagi sa'at sa'at tidak bertengkar

Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah, betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi. Baiklah, hari ini saya ingin paparkan resep keluarga kami dalam melangsung kan sebuah pertengkaran, alhamdulillah telah saya jalani selama 13 tahun, dan berhasil membangun keadaan yang senantiasa lebih asyik daripada sebelum terjadi pertengkaran. Tulisan ini murni Non Politik, jadi tolong Uni Ranti jangan tergesa gesa menghapusnya

Ketika saya dan si pencuri [hati saya] -- eh enggak koq dia tidak curi hati saya, malah saya kasikan dengan ikhlas dibarter hatinya yang tulus—
Awal bertemu, setelah saya tanya apakah ia bersedia berbagi masa depan dengan saya, dan jawabannya tepat seperti yang diharap, kami mulai membicarakan seperti apa suasana rumah tangga ke depan. Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar, dari beberapa perbincangan via tulisan plus waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalau pun harus bertengkar maka :

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama'ah
Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama'ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata "STOP" ini giliran saya !
Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati : "Kamu makin cantik kalau marah, makin energik ..." Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi... "duh kekasih .. bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu ...."

Demikian juga kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot muka", saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya, maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah. pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama'ah selain marah.

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan, bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang pa tah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya. (sampai hari ini, biaya pernikahan saya masih harus terus saya cicil, sayang kan kalau di delete begitu saja ...

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh. Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah, maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya", maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya.
Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah ... OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini .....

3. Kalau Marah jangan bawa-bawa keluarga !
Saya dengan isteri saya terikat masa 13 tahun, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir dua kali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (S.53:38-40). Saya tidak akan terpantik marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa-bawa orang lain kekancah "awal cinta yang panas ini". Kata ayah saya : "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak". Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya.."
Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak-anak !
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itukan bapak saya ... ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :

Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!"
Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda ????!!!!

Anak :"...... Yaaa ...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus saya ini apa ?"

Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi hati kita ???

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu sholat !
Pada setiap tahiyyat kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa 'ibaadil- ahis holiihiin" Ya Alloh damai atas kami, demikian juga atas hamba-hambamu yang sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah. Maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawamu ditanganNya ...... OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi ..... Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu dzuhur, Atau Maghrib sebatas isya ... Atau habis isya sebatas .... ??? Nnnng .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar .....

6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan
{hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca dikoran resensinya film Demi Moore [judulnya saya lupa ....]} Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah "proses belajar untuk mencintai lebih intens" Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki maki. Ini saja, semoga bermanfa'at, "Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi"

MENGAPA MENUNDA MENIKAH ?

Rasulullah pernah berkata kepada Ali RA : Hai Ali, ada 3 perkara yang jangan kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah apabila sudah siap penguburannya, dan wanita bila menemukan pria sepadan yang meminangnya (HR. Ahmad)

Kalau kita tanya seseorang pemuda/pemudi, Mengapa belum menikah? Maka jawabanya antara lain :

1. Masih kuliah/menuntut ilmu

Dikhawatirkan bila menikah akan mempengaruhi prestasi belajar dan mempengaruhi persiapan masa depan.

Hal ini sesungguhnya tergantung dari manajemen waktu, waktu yang biasanya dipakai untuk hura-hura setelah waktu kuliah, diganti dengan mencari nafkah atau bercengkrama dengan keluarga.

Disisi lain, bisa menghemat sewa kamar (kost-kostan), dapat saling membantu mengerjakan tugas (kalau satu bidang studi) atau dapat memperluas wawasan diskusi interdisipliner misalnya suami studi ilmu komputer dan istri akutansi maka diskusi komputasi akutansi akan nyambung, atau biologi dengan kimia diskusi tentang biokimia

2. Bila menikah akan terkekang

Tidak bisa bebas lagi, tidak bisa kongkow-kongkow di mal setelah pulang kuliah atau kerja, bertambah beban tanggung jawab untuk memberi nafkah istri dan anak. Sedangkan Rosul bersabda : "Bukan golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah" (HR Thabrani)

3. Belum siap dalam hal materi/rezeki.

Banyak yang beranggapan kalau mau menikah harus siap materi, yang berarti harus punya jabatan yang mapan, rumah minimal BTN, kendaraan dll, sehingga bila belum terpenuhi semua itu, takut untuk "maju". Sedangkan Allah menjamin akan memberikan rizki bagi yang menikah seperti dalam firmanNYA: "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32).

Rasulullah SAW bersabda :

"Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga) " (HR Imam Dailami dalam musnad Al Firdaus).

4. Tidak ada/belum ada jodoh

Masalah memilih jodoh telah di jelaskan pada tazkiroh 2 pekan yang lalu, dibawah ini adalah pesan Rosul SAW: Imam Thabrani meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa menikahi wanita karena kehormatannya (jabatan), maka Allah S.W.T hanya akan menambah kehinaan; barang siapa menikah karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah kecuali kefakiran; barang siapa menikahi wanita karena hasab (kemuliaannya), maka Allah hanya akan menambah kerendahan. Dan barang siapa yang menikahi wanita karena ingin menutupi (kehormatan) matanya, membentengi farji (kemaluan) nya, dan mempererat silaturahmi, maka Allah S.W.T akan memberi barakah-Nya kepada suami-istri tsb"

Imam Abu Daud & At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Tetapi nikahilah wanita itu karena agamanya. Sesungguhnya budak wanita yang hitam lagi cacat, tetapi taat beragama adalah lebih baik (dari pada wanita kaya & cantik tapi tidak taat beragama)"

Bukan berarti Rasulullah SAW mengabaikan penampilan fisik dari pasangan kita, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : "Kawinilah wanita yang subur rahimnya dan pecinta " (HR Abu Daud, An Nasai & Al Hakim) "Tiga kunci kebahagiaan suami adalah: Istri yang solehah: yang jika dipandang membuat semakin sayang, jika kamu pergi membuat tenang karena bisa menjaga kehormatannya dan taat pada suami"

4. Mungkin masih ada alasan lainnya, yang tidak akan dibahas disini misalnya:

* Karena kakak (apalagi wanita) belum menikah

* Karena orang tua terlalu selektif memilih calon mantu.

* dll

Manfaat menikah di usia muda :

1. Menjaga kesucian fajr (kemaluan) dari perzinaan serta menjaga pandangan mata. (QS 24: 30-31)

2. Dapat melahirkan perasaan tentram (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) dalam hati. (QS 30:21).

3. Segera mendapatkan keturunan, dimana anak akan menjadi Qurrata A'yunin (penyejuk mata, penyenang hati) (QS 25:74) Karena usia yang baik untuk melahirkan bagi wanita antara 20-30 tahun, diatas umur tsb akan beresiko baik bagi ibu maupun sang baby.

4. Memperbanyak ummat Islam. Seperti yang dipesankan Rosul, beliau akan membanggakan jumlah ummatnya yang banyak nanti di akhirat.

Kemuliaan menikah :

"Barang siapa menggembirakan hati istri, (maka) seakan-akan menangis takut kepada Allah. Barang siapa menangis takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan tubuhnya dari neraka. Sesungguhnya ketika suami istri saling memperhatikan, maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan penuh rahmat.

Manakala suami merengkuh telapak tangan istri (diremas-remas), maka berguguranlah dosa-dosa suami-istri itu dari sela-sela jarinya." (HR Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari Abu Sa'id Al-Khudzri r.a.)

Juga dapat ditambahkan, bahwa Islam memberi nilai yang tinggi bagi siapa yang telah menikah, dengan menikah berarti seseorang telah melaksanakan SEPARUH dari agama Islam!, tinggal orang tsb berhati-hati melaksanakan yang separuhnya lagi agar tidak sesat.

Rosul SAW bersabda : Barang siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi (HR Al Hakim).

Kehinaan melajang/membujang : "Orang yang paling buruk diantara kalian ialah yang melajang(membujang) dan seburuk-buruk mayat (diantara) kalian ialah yang melajang (membujang)" (HR Imam, diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dari Athiyyah bin Yasar)

Sebagai penutup, silahkan pertanyaan di bawah ini dijawab di dalam hati saja:

MENGAPA SAYA MENUNDA UNTUK MENIKAH ?